Kamis, 27 Februari 2014

Electra complex [Kompleks Electra]
adalah istilah psikoanalisis yang digunakan untuk menggambarkan perasaan romantis seorang gadis terhadap ayahnya dan marah terhadap ibunya. Electra complex [Kompleks Electra] seperti halnya dengan Oedipal Complex [Kompleks Oedipus] pada laki-laki.
Menurut Sigmund Freud,
perkembangan psikoseksual seorang anak perempuan pada awalnya melekat pada ibunya. Ketika ia menemukan bahwa ia tidak memiliki penis, ia menjadi melekat pada ayahnya dan mulai membenci ibunya, yang menganggap ibunya telah melakukan pengebirian dirinya. Freud percaya bahwa seorang anak perempuan kemudian mulai mengidentifikasi dan meniru ibunya karena takut kehilangan cinta ayahnya.
Istilah Electra Kompleks memang sering dikaitkan dengan Freud, namun sebenarnya Carl Jung telah menciptakan istilah ini pada tahun 1913. Freud sendiri menolak istilah tersebut, karena menggambarkan penyederhanaan upaya untuk memahami analogi antara sikap dari dua jenis kelamin. Freud sendiri menggunakan istilah Oedipus sebagai sebuah sikap feminin untuk menggambarkan apa yang sekarang kita sebut sebagai Electra complex [Kompleks Electra].
Oedipal Complex [kompleks Oedipus]
Oedipal Complex [kompleks Oedipus] merupakan suatu istilah yang digunakan oleh Freud dalam teorinya tentang tahap perkembangan psikoseksual untuk menggambarkan perasaan seorang anak laki-laki yang mencintai untuk ibunya, disertai rasa cemburu dan kemarahan terhadap ayahnya. Menurut Freud, anak laki-laki itu ingin memiliki ibunya dan menggantikan ayahnya, yang ia dilihat sebagai pesaing untuk mendapatkan kasih sayang ibunya. Oedipal Complex terinspirasi dari karakter di Sophocles [cerita kuno yunani] dimana Oedipus Rex yang secara tidak sengaja membunuh ayahnya dan menikahi ibunya.

Apa itu Electra Complex dan Oedipus Complex

Diarsipkan di bawah: Pendidikan — psikologiny at 12:34 pm on Selasa, Nopember 9, 2010
Electra complex [Kompleks Electra] adalah istilah psikoanalisis yang digunakan untuk menggambarkan perasaan romantis seorang gadis terhadap ayahnya dan marah terhadap ibunya. Electra complex [Kompleks Electra] seperti halnya dengan Oedipal Complex [Kompleks Oedipus] pada laki-laki.
Menurut Sigmund Freud, perkembangan psikoseksual seorang anak perempuan pada awalnya melekat pada ibunya. Ketika ia menemukan bahwa ia tidak memiliki penis, ia menjadi melekat pada ayahnya dan mulai membenci ibunya, yang menganggap ibunya telah melakukan pengebirian dirinya. Freud percaya bahwa seorang anak perempuan kemudian mulai mengidentifikasi dan meniru ibunya karena takut kehilangan cinta ayahnya.
Istilah Electra Kompleks memang sering dikaitkan dengan Freud, namun sebenarnya Carl Jung telah menciptakan istilah ini pada tahun 1913. Freud sendiri menolak istilah tersebut, karena menggambarkan penyederhanaan upaya untuk memahami analogi antara sikap dari dua jenis kelamin. Freud sendiri menggunakan istilah Oedipus sebagai sebuah sikap feminin untuk menggambarkan apa yang sekarang kita sebut sebagai Electra complex [Kompleks Electra].
Oedipal Complex [kompleks Oedipus]
Oedipal Complex [kompleks Oedipus] merupakan suatu istilah yang digunakan oleh Freud dalam teorinya tentang tahap perkembangan psikoseksual untuk menggambarkan perasaan seorang anak laki-laki yang mencintai untuk ibunya, disertai rasa cemburu dan kemarahan terhadap ayahnya. Menurut Freud, anak laki-laki itu ingin memiliki ibunya dan menggantikan ayahnya, yang ia dilihat sebagai pesaing untuk mendapatkan kasih sayang ibunya. Oedipal Complex terinspirasi dari karakter di Sophocles [cerita kuno yunani] dimana Oedipus Rex yang secara tidak sengaja membunuh ayahnya dan menikahi ibunya.

Bermain denga MEDIA LEGO

Diarsipkan di bawah: Pendidikan — psikologiny at 10:59 pm on Minggu, Nopember 7, 2010
47548_110441612347185_100001440397849_88632_4000681_n2
o Teori Kognitif
Teori kognitif dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikolog perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan, yang bagi Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasarkan pada kenyataan. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam mempresentasikan informasi secara mental. Teori ini digolongkan ke dalam konstruktivisme, yang berarti tidak seperti teori nativisme, teori ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif kita melalui tindakan yang termotivasi dangan sendirinya terhadap lingkungan.
Menurut teori ini, belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati. Asumsi dasar teori ini adalah setiap orang telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan dalam dirinya. Pengalaman dan pengetahuan ini tertata dalam bentuk struktur kognitif. Menurut teori ini proses belajar akan berjalan baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi secara klop dengan struktur kognitif yang dimiliki oleh siswa.
Prinsip kognitif banyak dipakai di dunia pendidikan, khususnya terlihat pada perancangan suatu sistem instruksional, prinsip-prinsip tersebut antara lain :
1) Seseorang yang belajar akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu
2) Penyusunan materi pelajaran harus dari sederhana ke kompleks
3) Belajar dengan memahami akan jauh lebih baik dari pada hanya dengan menghafal tanpa pengertian penyajian.
Aplikasi teori belajar kognitif dalam pembelajaran, guru harus memahami bahwa siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya, anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar belajar menggunakan benda-benda konkret, keaktifan siswa sangat dipentingkan, guru menyusun materi dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari sederhana ke kompleks, guru menciptakan pembelajaran yang bermakna, memperhatikan perbedaan individual siswa untuk mencapai keberhasilan siswa.
o Teori Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan (kontruksi) kita sendiri (Von Glaserfeld). Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan tersebut.
Konstruktivisme menekankan perkembangan konsep dan pengertian yang mendalam, pengetahuan konstruksi aktif yang dibuat siswa. Jika seseorang tidak aktif membangun pengetahuannya, meskipun usianya tua tetap tidak akan berkembang pengetahuannya. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai.
Pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja, melainkan harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Pengetahuan juga bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dalam prose situ keaktivan seseorang sangat menentukan dalam mengembangkan pengetahuannya.
Jean Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme, sedangkan teori pengetahuannya dikenal dengan teori adaptasi kognitif. Sama halnya dengan setiap organisme harus beradaptasi secara fisik dengan lingkungan untuk dapat bertahan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Manusia berhadapan dengan tantangan, pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus ditanggapinya secara kognitif (mental). Untuk itu, manusia harus mengembangkan skema pikiran lebih umum atau rinci, atau perlu perubahan, menjawab dan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman tersebut. Dengan cara itu, pengetahuan seseorang terbentuk dan selalu berkembang. Proses tersebut meliputi:
1) Skemata
2) Asimilasi
3) Akomodasi
4) Equilibrasi
? IMPLIKASI TEORI BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN
o Teori kognitif
Piaget menjabarkan implikasi teori kognitif pada pendidikan yaitu
1) Memusatkan perhatian kepada cara berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar pada hasilnya. Guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada hasil tersebut. Pengalaman-pengalaman belajar yang sesuai dikembangkan dengan memperhatikan tahap fungsi kognitif dan jika guru penuh perhatian terhadap pendekatan yang digunakan siswa untuk sampai pada kesimpulan tertentu, barulah dapat dikatakan guru berada dalam posisi memberikan pengalaman yang dimaksud,
2) Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar. Dalam kelas, Piaget menekankan bahwa pengajaran pengetahuan jadi anak didorong menentukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi spontan dengan lingkungan,
3) Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh dan melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan berbeda. Oleh karena itu guru harus melakukan upaya untuk mengatur aktivitas di dalam kelas yang terdiri dari individu-individu ke dalam bentuk kelompok-kelompok kecil siswa daripada aktivitas dalam bentuk klasikal,
4) Mengutamakan peran siswa untuk saling berinteraksi.
o Teori Konstruktivisme
Implikasi teori konstruktivisme pada pembelajaran diantaranya :
1) Setiap guru akan pernah mengalami bahwa suatu materi telah dibahas dengan jelas-jelasnya namun masih ada sebagian siswa yang belum mengerti ataupun tidak mengerti materi yang diajarkan sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa seorang guru dapat mengajar suatu materi kepada siswa dengan baik, namun seluruh atau sebagian siswanya tidak belajar sama sekali. Usaha keras seorang guru dalam mengajar tidak harus diikuti dengan hasil yang baik pada siswanya. Karena, hanya dengan usaha yang keras para siswa sendirilah maka akan betul-betul memahami suatu materi yang diajarkan.
2) Tugas setiap guru dalam memfasilitasi siswanya, sehingga pengetahuan materi yang dibangun dan dikontruksi para siswa sendirian bukan ditanam oleh guru. Para siswa harus dapat secara aktif mengasimilasikan dan mengakomodasi pengalaman baru kedalam kerangka kognitifnya.
3) Untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental yang digunakan para siswa untuk mengenal dunia mereka dan penalaran yang dikembangkan dan yang dibuat para siswa untuk model-model itu.
4) Siswa perlu mengkonstruksi pemahaman mereka sendiri untuk masing-masing konsep materi sehingga guru dalam mengajar bukannya menguliahi, menerangkan atau upaya-upaya sejenis untuk memindahkan pengetahuan pada siswa tetapi menciptakan situasi bagi siswa yang membantu perkembangan mereka membuat konstruksi-konstruksi mental yang diperlukan.
5) Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikontruksi oleh peserta didik.
6) Latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.
7) Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai dengan dirinya. Guru hanya sebagai fasilitator, mediator, dan teman yang membuat situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
LEGO SEBAGAI MEDIA BERMAIN YANG KONSTRUKTIF
Salah satu jenis permainan modern yang cukup baik adalah lego. Lego terdiri dari balok-balok berbagai ukuran amat mengasyikan untuk dimainkan. Bisa disusun menjadi rumah, gedung, atau mainan lain seperti pesawat dan mobil-mobilan. Anak-anak pun bisa bereksperimen sesuai imajinasi mereka. Karena mainan ini tidak berbentuk, maka anak dipaksa berpikir kreatif sekaligus imajinatif untuk menyusun bagian demi bagian. unsur kepuasan dalam permainan ini sangat penting untuk memupuk rasa percaya diri.
Namun, permainan ini hanya cocok untuk yang sudah cukup umur dan mengenal bentuk. Paling tidak untuk anak yang sudah berusia di atas 2 tahun. sebab kalau tidak bisa, si anak justru akan merasa frustasi karena tidak bisa mengerti apa maksudnya mainan ini, imbuhnya. Lego atau balok juga bisa diperkenalkan pada mereka. Mungkin mereka hanya akan menyusun ke atas, ke samping, atau melempar-lempar saja. Di usia ini, anak memang sedang senang-senangnya bermain kasar. Misalnya sudah disusun tinggi, dirobohkan kembali. Buat mereka, hal itu amat menyenangkan. Sebetulnya, dari situ pula anak belajar bahwa jika benda bersusun dijatuhkan, yang tadinya berada di atas sekarang menjadi terpencar.
Sebagaimana halnya mainan berbentuk balok dan mainan konstruktif lainnya, lego merupakan permainan konstruktif bermanfaat bagi anak untuk mengembangkan kreativitasnya. Dari permainan itu. anak bisa belajar tentang konsep besar kecil, tinggi rendah, panjang pendek, dan sebagainya. Jika balok besar diletakkan di atas balok kecil, apa jadinya. Dari beberapa balok ternyata bisa disusun jadi beragam bentuk yang ia inginkan, seperti rumah, robot, jembatan, dan sebagainya. Dari hal kecil itu secara tidak langsung ia belajar mengenai perencanaan dan pemecahan masalah.

http://psikologiny.blogdetik.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar